Surah Ad-Dukhan: Peringatan Keras Tentang Tipu Daya Kekuasaan, Ilmu, dan Ketenaran

Surah Ad-Dukhan, surah ke-44 dalam mushaf Al-Qur’an, diturunkan di Makkah (Makiyah) dan terdiri dari 59 ayat. Namanya sendiri, Ad-Dukhan, berarti “kabut” atau “asap”, sebuah nama yang diambil dari salah satu ayatnya dan secara mendalam merepresentasikan tema utama yang diusungnya. Tema besar surah ini adalah peringatan tentang bahayanya tertipu oleh istidraj—sebuah jebakan kenikmatan duniawi yang membuat seseorang lupa diri dan mengingkari kebenaran.

Jika surah sebelumnya, Az-Zukhruf, fokus pada bahaya tertipu oleh harta, maka Surah Ad-Dukhan memperluas cakupan peringatan tersebut pada segala bentuk kehebatan selain harta, seperti kekuasaan, pengetahuan, dan popularitas.

Makna di Balik Nama “Ad-Dukhan”

Nama surah ini merujuk pada ayat ke-10:فَارْتَقِبْيَوْمَتَأْتِيالسَّمَاءُبِدُخَانٍمُّبِينٍ

“Maka, nantikanlah hari (ketika) langit mendatangkan kabut asap yang tampak jelas.” (QS. Ad-Dukhan: 10)

Para ulama tafsir memberikan dua penafsiran utama mengenai “kabut asap” ini, dan keduanya didasarkan pada hadis riwayat Al-Bukhari:

      1. Peristiwa yang Sudah Terjadi: Tafsiran pertama merujuk pada kabut asap dan kekeringan hebat yang pernah menimpa kaum Quraisy di Makkah sebagai hukuman. Akibat penderitaan itu, mereka sampai meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk berdoa kepada Allah agar azab tersebut diangkat.

      1. Tanda Akhir Zaman: Tafsiran kedua menyatakan bahwa dukhan ini adalah salah satu tanda besar menjelang kiamat, yang akan muncul tiga tahun sebelum kedatangan Dajjal.

    Kedua pendapat ini tidak bertentangan; bisa jadi ayat tersebut mencakup kedua makna tersebut sekaligus.

    Metafora Kabut: Saat Kehebatan Menutupi Hakikat

    Secara tematik, “kabut” atau “asap” adalah metafora sempurna untuk kondisi seseorang yang tertipu oleh kehebatannya. Asap menghalangi pandangan, membuat segalanya menjadi samar. Begitu pula orang yang terjerat istidraj; ia menyangka kekuasaan dan ilmunya adalah bukti bahwa ia berada di atas kebenaran. Pandangannya tertutup kabut kesombongan, sehingga ia menjadi congkak, menolak ayat-ayat Allah, dan mengingkari ajaran Rasul hanya karena merasa lebih hebat.

    Surah ini menyajikan beberapa contoh nyata untuk menggambarkan bahaya ini.

    Contoh #1: Kebangkitan dan Keingkaran Kaum Quraisy

    Allah memulai dengan kisah kaum Quraisy yang ingkar. Ketika ditimpa azab berupa kabut asap yang menyesakkan, mereka segera memohon ampun.رَبَّنَااكْشِفْعَنَّاالْعَذَابَإِنَّامُؤْمِنُونَ

    “(Mereka berdoa,) ‘Wahai Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sesungguhnya, kami adalah orang-orang mukmin’.” (QS. Ad-Dukhan: 12)

    Namun, setelah Allah mengabulkan doa mereka dan melenyapkan azab itu untuk sementara waktu, mereka kembali pada keingkaran, bahkan menuduh Nabi Muhammad ﷺ sebagai orang gila yang diajari oleh orang lain. Allah pun menegaskan watak mereka:إِنَّاكَاشِفُواالْعَذَابِقَلِيلًاۚإِنَّكُمْعَائِدُونَ

    “Sesungguhnya, (kalau) Kami melenyapkan azab itu sebentar saja, pasti kamu akan kembali (ingkar).” (QS. Ad-Dukhan: 15)

    Kisah ini menunjukkan bagaimana kenikmatan sesaat (hilangnya azab) justru membuat mereka kembali buta, tertutup kabut keangkuhan.

    Contoh #2: Firaun yang Jaya Lalu Binasa

    Kisah Firaun diangkat sebagai contoh istidraj melalui kekuasaan. Allah mengujinya dengan kerajaan yang luar biasa, namun itu membuatnya tertipu. Puncak kesombongannya berakhir dengan tragis di Laut Merah, meninggalkan semua kejayaan yang pernah ia banggakan. Mengenai kebinasaannya, Allah berfirman dengan kalimat yang sangat menyentuh:فَمَابَكَتْعَلَيْهِمُالسَّمَاءُوَالْأَرْضُوَمَاكَانُوامُنظَرِينَ

    “Langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu.” (QS. Ad-Dukhan: 29)

    Ini adalah gambaran betapa hinanya akhir seorang hamba yang sombong; alam semesta pun tak peduli dengan kepergiannya.

    Contoh #3: Bani Israil dan Kaum Tubba’ yang Sombong

    Allah juga menyebut kisah Bani Israil yang pernah dipilih dan diistimewakan di atas bangsa lain pada zamannya. Namun, keistimewaan itu justru menjadi kabut yang menutupi mereka. Mereka tertipu dengan kehebatannya, sehingga berani mengingkari dan bahkan membunuh para nabi.

    Begitu pula dengan Kaum Tubba’ di Yaman dan umat-umat perkasa sebelumnya. Mereka semua dibinasakan karena tertipu oleh kehebatan mereka sendiri. Allah seolah bertanya kepada kaum Quraisy, “Apakah mereka (kafir Makkah) yang lebih baik atau kaum Tubba’ dan orang-orang yang sebelum mereka?” (QS. Ad-Dukhan: 37). Jika kaum yang lebih hebat saja bisa binasa, apalagi mereka?

    Contoh #4: Abu Jahal dan Hukuman Ironis di Neraka

    Sebagai puncak contoh, surah ini menyinggung sosok Abu Jahal, seorang pembesar Quraisy yang semasa hidupnya dengan congkak mengklaim dirinya sebagai Al-‘Aziz Al-Karim (Yang Perkasa lagi Mulia). Namun, kehebatan dan nama besarnya itu malah membuatnya buta terhadap kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ.

    Di akhirat, kesombongannya dibalas dengan hukuman yang ironis. Dikatakan kepadanya saat ia merasakan pedihnya neraka:ذُقْإِنَّكَأَنتَالْعَزِيزُالْكَرِيمُ

    “(Dikatakan kepadanya,) ‘Rasakanlah! Sesungguhnya, engkau (dalam kehidupan dunia) benar-benar (merasa sebagai orang) yang perkasa lagi mulia’.” (QS. Ad-Dukhan: 49)

    Sebuah ejekan telak yang menelanjangi kesombongannya. Keperkasaan yang ia banggakan di dunia kini tak berarti apa-apa. Pandangannya telah tertutup oleh dukhan—kabut asap kesombongan—sehingga ia gagal melihat kebenaran yang sejati.

    Referensi : Quran Mapping – Nur Fajri Romadhon

    Scroll to Top